BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
islam ada 4 sumber hukum (Mashadirul Ahkam) yang dapat dijadikan rujukan
dalam menentukan hukum, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan Mashadirul
Ashliyah (sumber pokok), serta ijma’ dan qiyas yang merupakan Mashadirul
Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok).
Akan
tetapi dalam kehidupan sehari-hari terkadang ada beberapa permasalahan yang
tidak disebutkan secara jelas dalam sumber-sumber hukum tersebut. Sehingga ada
beberapa kelompok yang menggunakan pendekatan lain dalam berijtihad untuk
mendapatkan suatu ketentuan hukum. Salah satunya yaitu dengan istihsan
dan mashlahah mursalah.
Istihsan dan mashlahah
mursalah merupakan pendekatan dalam menentukan suatu hukum bertujuan untuk
memperoleh ketentuan hukum yang dianggap lebih kuat dan lebih baik untuk
diterapkan serta lebih banyak mendatangkan kemashlahatan bagi umat. Dalam
penggunaan istihsan dan mashlahah mursalah dalam metode ijtihad terdapat
perbedaan pendapat. Ada yang menerima penggunaan keduanya dan ada pula yang
menolak keduanya.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang istihsan dan
mashlahah mursalah, mulai dari pengertian, macam-macam dan pro dan kontra
penggunaan istihsan dan mashlahah mursalah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian istihsan?
2. Apa saja macam-macam istihsan?
3. Bagaimana pro dan kontra penggunaan istihsan?
4. Apa pengertian mashlahah?
5. Apa saja macam-macam mashlahah?
6. Apa arti mashlahah mursalah?
7. Bagaimana pro dan kontra penggunaan mashlahah mursalah?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istihsan
Secara etimologis (lughawi/bahasa) istihsan (استحسان) berarti “memperhitungkan
sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti
sesuatu yang lebih baik, atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena
memang disuruh untuk itu”. [1]
Adapun pengertian istihsan secara istilah, ada beberapa
definisi yang dirumuskan ulama’ ushul fiqh. Diantara definisi itu da yang
berbeda akibat danya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati
semua pihak, namun diantarany ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1.
Menurut
Ibnu Subkhi, istihsan yaitu “beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada
qiyas lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama)”, “beralih dari
penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.”
2.
Menurut
ulama’ Malikiyah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syatibi, “istihasan dalam
madzhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i (khusus)
sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli (global/umum) .”
3.
Menurut
ulama’ Hanabilah sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, istihsan
adalah “ beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari
yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam al-Qur’an atau
sunnah”, “apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan
pemikiran akalnya”, “dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu
menjelaskannya.”
4.
Menurut
ulama’ Hanafiyah, istihsan adalah “beramal dengan ijtihad dan umum
pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat
kita”, “dalil yang menyalahi qiyas yang dzahir yang didahului prasangka sebelum
diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang
mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama
dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleSSh
karenanya wajib diamalkan.” [2]
5.
Menurut
al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz 1 : 137, “istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh
mujtahid menurut akalnya.” [3]
Setelah menganalisa beberapa
definisi istihsan diatas, dapat ditarik kesimpulan istihsan yaitu
seorang mujtahid dalam ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak
menggunakan dalil, baik dalil qiyas, dalil kulli, atau dalam bentuk kaidah
umum. Akan tetapi, menggunakan dalil lain yang dinilai lebih kuat, keadaan
darurat atau hukum pengecualian dengan alasan lebih baik dan lebih banyak
mendatangkan kemaslahatan.
B.
Macam-macam Istihsan
· Ditinjau dari segi dalil yan digunakan pada saar beralih dari qiyas
1. Beralih dari
apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada
yang dikendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid
tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya,
tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya
cara itulah yang paling kuat (tepat) .
Contoh
dalam kasus mewakafkan tanah yang didalamnya terdapat jalan dan sumber air
minum. Jika si mujtahid menggunakan pendekatan qiyas biasa, maka dengan hanya
mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut,
sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Pendekatan seperti ini disebut
qiyas jali atau qiyas dhahir. Namun jika dalam kasus tersebut beralih dari
qiyas jali dengan menempuh pendekatan qiyas khafi yaitu menyamakannya dengan
transaksi sewa menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu
termasuknya jalan dan sumber air dalam tanah yang diwakafkan, meskipun tidak
disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan ini disebut istihsan qiyas (استحسان القياس).
2. Beralih dari
apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi,
meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu
masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan
sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
Contoh
dalam penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Berdasarkan dalil umum dalam Q.S
al-Maidah : 37, bila seseorang baik laki-laki maupun perempuan melakukan
pencurian, maka berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian
tersebut dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukuman potong
tangan yang bersifat umum itu tidak berlaku bagi pencuri tersebut.
3. Beralih dari
tuntunan hukum kulli kepada tuntunan yang dikehendaki hukum pengecualian.
Contoh wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada
di bawah perwalian karena belum dewasa. Berdasarkan ketentuan ketentuan yang
bersifat kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang
melakukan kebajikan dengan hartanya (tabarru’). Berdasarkan pendekatan istihsan
ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan tehadap dirinya sendiri.
Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya, namun
dengan melakukan wakaf bagi dirinya, ia dapat menyelamatkan hartanya. [4]
· Ditinjau dari
segi sandaran atau menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan
oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi 4 macam :
1. Istihsan yang sandarannya
adalah qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama
karena ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu dari
satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan
lebih tinggi.
2. Istihsan yang
sandarannya adalah nash. Dalam hal ini si mujtahid dalam menetapkan hukum tidak
jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Istihsan
dalam bentuk ini disebut “Istihsan Nash”.
Contoh
dalam masalah jual beli salam (pesanan atau inden). Pada saat berlangsung
transaksi jual beli, barang yang diperjualbelikan itu belum ada. Berdasarkan
ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti
itu tidak boleh dan tidak sah, karena tidak terpenuhinya salah satu syarat jual
beli berupa tersedianya barang yang diperjualbelikan pada saat berlangsung
transaksi. Namun, cara begini tidak dipakai karena telah ada nash yang
mengaturnya, yaitu hadits Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap
sesuatu barang yang tidak ada di tempat kecuali jual beli salam
(pesanan).
3. Istihsan yang
sandarannya adalah ‘urf (adat). Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan
cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain denga dasar
pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku pada suatu
keadaan. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-‘urf (استحسان العرف).
Contoh
dalam penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang menggunakan
pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk, tanpa
diperhitungkan banyaknya air yang dipakai dan lama waktu yang digunakan. Kalau dalam
kasus ini mengikuti jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual
beli untuk kadar uang yang ditentukan harus tertentu pula air yang digunakan.
Kalau mengikuti ketentuan sewa menyewa yaitu tertentunya waktu pemakaian barang
yang disewa. Dengan demikian, ketentuan sewa menyewa dan jual beli ditinggalkan
karena menyandar pada adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak.[5]
4. Istihsan yang
sandarannya adalah dharurat. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil
yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki
pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-‘urf
(استحسان العرف).
Umpamanya tidak diberlakukannya
hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk
mempertaruhkan hidup atau dharurat, seperti yang telah disebutkan diatas.
· Menurut
Syaitibi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istihlah , ada 3 macam:
1. Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan). Umpamanya
ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seseorang dalam sumpahnya menyebutkan
tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia
dinyatakan tidak melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa al-Qur’an
termasuk dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan) yang
berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.
2. Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain
karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.
Umpamanya
tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang bila
barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas,
ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu
bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini
ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya
kemaslahatan yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
3. Meninggalkan
dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan
kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu
dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan
yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang
berlaku.[6]
C.
Pro dan Kontra Berhujjah dengan Istihsan
Dari beberapa definisi dan
macam-macam istihsan diatas terlihat bahwa ada bentuk istihsan yang
diterima semua pihak dan untuk selanjutnya mempunyai kekuatan dalam ijtihad
yaitu istihsan yang diartikan dengan “mengamalkan yang terkuat diantara
dua dalil” sebagaimana dikemukakan al-Syatibi atau dalam arti, “beralih dari qiyas
kepada qiyas yang lebih kuat,” menurut rumusan ibn Subki.
Adapun istihsan dalam arti
beralih dari qiyas jali kepada qiyas khafi atau beralih dari
dalil kepada adat kebiasaan, merupakan yang kontroversial, yang dengan
sendirinya menjadi kurang kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’i
termasuk ulama yang paling keras menolak istihsan dalam bentuk ini.
Menurut Syafi’i, istihsan
dalam bentuk itu hanyalah berbuat “talazzuz” atau seenaknya. Seandainya
boleh meninggalkan qiyas tentu orang yang tidak mempunyai ilmu pun akan
dengan mudahnya menggunakan istihsan sewaktu ia tidak menemukan
keterangan hukum.
Imam Syafi’I memang menolak dengan
keras istihsan dalam bentuk yang kontroversi tersebut, tetapi istihsan
yang lainnya tidak ditolaknya, bahkan ia pun menggunakan istihsan
seperti dalam masalah bersumpah dengan menggunakan mushhaf (al-Qur’an),
membuat akte (keterangan tertulis) pada waktu penebusan bagi kemerdekaan
seorang hamba (katabah), dan begitu pula menetapkan kewajiban mut’ah
sebanyak 30 dirham.
Kalangan ulama Zhahiriyah menolak
penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama Syi’ah dan sebagian
ulama kalam Mu’tazilah. Karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan
sendirinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan
dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas. [7]
Argumen ulama yang menolak istihsan
(selain argumen Imam Syafi’i) adalah sebagai berikut:
1.
Yang
dituntut dari kaum muslimin untuk
diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau Rasul atau hukum yang diqiyaskan
kepada hukum Allah dan Rasul.
2.
Allah
SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian ditetapkan dengan
nash Kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan Nabi. Ada pula isyarat dari nash
untuk mengikuti ijma’. Dan dalam hal yang diperdebatkan, disuruh untuk
menghubungkannya dengan nash yang ada, yaitu melalui qiyas.
Sedangkan ulama yang menggunakan istihsan
adalah dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Imam Ahmad. Kalangan
yang lebih banyak menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada
ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik
daripada qiyas.
Argumen ulama Hanafiyah untuk
menyanggah tudingan imam Syafi’I yang mengatakan istihsan itu mengikuti
dan bertolak dari kehendak hawa nafsu adalah sebagai berikut:
1.
Istihsan
bentuk pertama adalah menggunakan ijtihad dan umumnya pendapat
dalam menghadapi kasus yang oleh syara’ sendiri diserahkan kepada kita untuk
menentukan hukumnya. Umpamanya masalah menetapkan kadar mut’ah dari suami yang
menceraikan istrinya yang belum dicampuri. Menentukan kadar yang harus
diberikan si suami adalah termasuk berbuat yang lebih baik.
2.
Istihsan dalam bentuk yang kedua adalah memilih dalil yang menyalahi qiyas
jali. Hal ini menimbulkan prasangka sebelum diteliti secara mendalam.
Tetapi sesudah diteliti, akan tampak bahwa dalil yang menyalahi qiyas
itu justru lebih kuat. Sedangkan sikap untuk mengambil dalil yang lebih kuat
itu hukumnya wajib. [8]
Al-Syatibi dari ulama Malikiyah
menegaskan bahwa bentuk pelaksanaan istihan itu merujuk kepada
penggunaan dalil mursal sebagai ganti dari merujuk kepada qiyas.
Orang yang menggunakan istihsan tidak berbuat atas dorongan selera hawa
nafsunya, tetapi merujuk pada tujuan syara’ dalam penetapan hukum secara umum.
Umpamanya suatu masalah bias diselesaikan dengan pendekatan qiyas,
sehingga menghasilkan suatu ketentuan hukum, namun segi kemashlahatannya luput
jika hukum tersebut diterapkan. Agar kemashlahatan itu tidak luput, maka diperlukan
pendekatan lain, yaitu dengan istihsan.
Dalil-dalil
dan argumen rasional yang dijadikan pegangan oleh kalangan yang menggunakan istihsan
adalah sebagai berikut:
1.
Dalil dari ayat-ayat al-Qur’an
a.
Al-Zumar : 18
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr&
Artinya: “Orang-orang yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya…….
Ayat
ini mengisyaratkan adanya sanjungan dan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali
untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
b.
Al-Zumar : 55
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.......
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah. [9]
2.
Dalam bentuk Sunnah
a.
Sabda Nabi :
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik.”
b.
Praktek penggunaan istihan juga terdapat
dalam sunnah. Seperti, diberlakukannya hukum khusus untuk berjual beli salam
meskipun barang yang diperjualbelikan belum ada waktu akad berlangsung.
3.
Argumen ijma’ yang dikemukakan pengguna istihsan
adalah apa yang disebutkan tentang istihsan yang dilakukan oleh ulama
dalam hal menggunakan pemandian umum dan minum air dari penjual minuman, tanpa
menentukan lamanya waktu berada di pemandian dan kadar air yang digunakan.
4.
Argumen rasionalnya adalah bahwa dalam
menetapkan qiyas dan memberlakukan ketentuan umum adalah bertujuan untuk
mendatangakan mashlahah. Bila dalam keadaan tertentu qiyas yang
ditetapkan dan ketentuan umum yang diberlakukan itu berakibat pada
menghilangkan kemashlahatan, dan dalam waktu yang sama terdapat cara lain yang
lebih baik sebagai alternatif pemecahannya, maka meninggalkan qiyas dan
ketentuan umum untuk menggunakan cara lain tersebut adalah tidakan yang lebih
bijaksana ditinjau dari tujuan pemberlakuan hukum, yaitu untuk mendatangkan
kemashlahatan dan meninggalkan kemadharatan.
Dari beberapa
pendapat yang berbeda tentang penggunaan istihsan beserta argumen
masing-masing, terlihat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ini terjadi karena
adanya perbedaan dalam mengartikan apa itu istihsan. Yang menyebabkan
perbedaan adalah jika istihsan diartikan dengan “beralih dari menetapkan
hukum berdasarkan dalil kepada adat istiadat”. [10]
Mereka yang
menggunakan istihsan tidak serta merta membebaskan akal dan logika
mereka. Mereka menggunakan pendekatan lain dengan tujuan untuk memperoleh
ketentuan yang lebih baik dan lebih kuat. Sedangkan bagi mereka yang menolak istihsan,
mereka menolaknya karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang
mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan
logikanya sendiri. Sebenarnya mereka hanya menolak Istihsan yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.[11]
D.
Pengertian Mashlahah
Secara
etimologis mashlahah (مصلحة) berasal dari kata shalaha (صلح) yang
berarti “ baik”. Mashdar dari kata shalah (صلاح) yaitu “ manfaat”. Dalam bahasa arab mashlahah
berarti “ perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. [12]
Secara
terminologis terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam mengartikan mashlahah,
akan tetapi jika dianalisa ternyata hakikatnya adalah sama.
a.
Al-Ghazali
menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah berarti “sesuatu yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madharat (kerusakan)”. Namun
hakikat mashlahah adalah “memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan
hukum).
b.
Al-Khawarizmi
menegmukakan mashlahah adalah “memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
c.
Al-Syatibi
mengemukakan mashlahah ditinjau dari segi terjadinya dalam kenyataan
adalah “ sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aqlinya secara
mutlak”. Sedangkan ditinjau dari tuntutan syara’, mashlaha adalah
“kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk
menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat”
d.
Al-Thufi
menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-‘Alim, mashlahah adalah
“ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau
adat”
Dari beberapa definisi tentang mashlahah
diatas dapat disimpulkan bahwa mashlahah adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan
(kerusakan) bagi manusia, serta sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum. [13]
E.
Macam-macam Mashlahah
Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa mashlahah dalam
artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik
buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat mendatangkan kenikmatan dan
menghindarkan kerusakan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang
dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan.
Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan
lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan runtutan
kehidupan manusia kepada lima hal tersebut. [14]
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahah
ada tiga macam, yaitu: mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah,
dan mashlahah tahsiniyah.
a. Mashlahah dharuriyah (المصلحة الضرورية) adalah kemaslahatan
yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan
manusia tidak punya arti apa-apa bila
salah satu dari lima prinsip itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung
menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahah
dalam tingkatan dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi
pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap
atau rusaknya satu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu
Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang zina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b. Mashlahah hajiyah (المصلحة الحاجية) adalah kemaslahatan
yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri.
Benuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang
lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana seperti
dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah
hajiyah juga jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai
secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara
tidak langsung memang bisa menyebabkan perusakan.
Contoh mashlahah hajiyah adalah: menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama,
makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk sempurnanya akal, melakukan
jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau mashlahah
dalam tingkatan haji. Sebaliknya ada perbuatan yang secara tidak
langsung akan berdampak pada pengurangan atau perusakan lima kebutuhan pokok, seperti: menghina agama berdampak pada memelihara
agama, mogok makan pada memelihara jiwa, minum dan makan yang merangsang pada memelihara akal, melihat aurat dalam memelihara keturunan, dan menipu akan berdampak pada memelihara harta. Semua adalah perbuatan buruk yang dilarang, menjauhi larangan tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat
haji.
c. Mashlahah tahsiniyah (المصلحة التحسنية) adalah mashlahah
yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak
sampai tingkat haji, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka
memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam
bentuk tahsini tersebut juga berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia. [15]
Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara berurutan menggambarkan
tingkatan peringkat kekuatannya. Yang kuat adalah mashlahah dharuriyah, kemudian dibawahnya adalah mashlahah hajiyah dan berikutnya mashlahah
tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat
kekuatannya, yang secara berurutan adalah: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan
kepentingan antar sesamanya. Dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas
haji, dan didahulukan haji atas tahsini.
Begitu pula bila terjadi perbenturan antara yang sesama dharuri tersebut,
maka tingkat yang lebih tinggi harus didahulukan. Jihad di jalan Allah, disyari’atkan untuk menegakkan agama meskipun
dengan mengorbankan jiwa dan harta sebagaimana firman
Allah pada surat al-Hujurat : 51
(#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$#
Artinya : “Berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu
dalam jalan (menegakkan) agama Allah
Ayat diatas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas jiwa dan harta.
Begitu pula syari’at membolehkan meminum khamr bagi orang yang tercekik, untuk
melepaskan keadaan daruratnya. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara jiwa itu
harus didahulukan atas memelihara akal. [16]
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan
tujuan syara’ dalam menetapakan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan
menetapkan hukum, mashlahah itu disebut juga dengan munasib atau
keserasian mashlahah dengan tujuan hukum. Mashlahah dalam artian munasib
itu dari segi pembuat hukum (syar’i) memperhatikannya atau tidak, mashlahah
terbagi kepada tiga macam yaitu:
a. Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبره) yaitu mashlahah
yang diperhitungkan oleh syar’i, maksudnya ada petunjuk dari syar’i, baik
langsung maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya mashlahah
yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.
Dari langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap mashlahah
tersebut, mashlahah terbagi dua:
1) Munasib Mu’atstsir (المناسب المؤثر) yaitu ada petunjuk
langsung dari pembuat hukum (syar’i) yang memperhatikan mashlahah
tersebut. Maksudnya ada petunjuk syara’ dalam bentuk nash atau ijma’ yang
menetapkan bahwa mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh dalil nash yang menunjuk langsung pada mashlahah, umpanya
tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid alasan haid itu adalah
penyakit. Hal ini disebut mashlahah karena
menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit” itu yang dikaitkan dengan larangan mendekati
perempuan, disebut munasib. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah : 222
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# (
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit, oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid ………
Contoh dalil yang menunjukkan langsung kepada mashlahah dalam bentuk
ijma’, umpamanya menetapkan adanya kewalian ayah
terhadap harta anak-anak dengan illat “belum dewasa” dengan hukum perwalian adalah mashlahah
atau munasib, dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan
demikian. [17]
2) Munasib mula’im (المناسب الملائم), yaitu tidak ada petunjuk langsung
dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap
mashlahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya meskipun
syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk
menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan
itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis.
Umpamanya:
a) Berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak
gadisnya itu “belum dewasa”. “Belum dewasa” ini menjadi alasan bagi hukum yang
sejenis dengan itu, yaitu perwalian dengan harta milik anak kecil.
b) Menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk halangan sholat berjamaah. Tidak ada petunjuk dari syara’ yang menetapkan dingin itu sebagai alasan
untuk tidak sholat berjamaah. Namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan yang
sejenis dengan dingin itu yaitu “perjalanan” yang dijadikan syara’ sebagai
alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan sholat berjamaah tersebut, yaitu jama’ sholat. Dingin itu sejenis dengan “perjalanan” yaitu
sama dengan hal menyulitkan, sedangkan meninggalkan sholat berjamaah itu rukhsah (keringanan) hukumnya.
Dari uraian diatas tampak bahwa pada bentuk mashlahah yang dalilnya
tidak langsung itu masih ada perhatian syara’ kepada mashlahah tersebut meskipun
sangat kecil. [18]
b. Mashlahah al-Mulghoh (المصلحة الملغاة) atau mashlahah
yang ditolak, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak
diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal ini
berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, namun
ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh mashlahah
itu. Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran hukum
yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh berpuasa dua bulan
berturut-turut, karena cara inilah yang diperkirakan
membuatnya jera melakukan pelanggaran, pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syar’i dalam menetapkan hukum, yaitu menjerakan orang dalam melakukan pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini, ternyata tidak demikian menurut syar’i, bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk
dapat membutnya jera.
Contoh lain umpamanya, dimasa kini masyarakat telah mengakui emansipasi
wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh karena itu akal menganggap baik atau mashlahah untuk menyamakan
hak perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Hal ini pun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh
Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada
laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata
berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak perempuan
sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Nisa (4):11,dan penegasan Allah tentang
hak waris saudara laki-laki dua kali hak saudara perempuan sebagaimana
ditegaskan dalam surat al-Nisa (4):176. [19]
c. Mashlahah al-Murslah (المصلحة المرسلة) atau yang juga biasa
disebut Istishlah ( الا ستصلاح ); yaitu apa yang
dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum
namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula
petunjuk syara’ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mashlahah mu’tabarah, sebagai
mana juga mereka sepakat dalam menolak mashlahah mulghah. Menggunakan
metode mashlahah mursalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan
yang berkepanjangan dikalangan ulama.
F.
Arti Mashlahah Mursalah
Al-mursalah (المرسلة)
secara etimologis berarti “terlepas”, atau dalam arti مطلقة (bebas). Kata terlepas dan bebas bila
dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas
dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”. [20]
Ada
beberapa definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah, namun
masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya.
a.
Menurut
al-Ghazali mashlahah mursalah adalah “apa-apa (mashlahah)
yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang
membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
b.
Menurut
al-Syaukani mashlahah mursalah adalah “mashlahah yang tidak
diketahui apakah syar’i menolaknya atau memperhitungkannya.”
c.
Ibnu
Qudamah dari ulama’ Hanbali member rumusan “mashlahah yang tidak ada
bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak ada pula yang
memperhatikannya.”
d.
Yusuf
Hamid al-‘Alim member rumusan “apa-apa (mashlahah) yang tidak ada
petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.”
e.
Menurut
Jalal al-Din Abd Rahman, “mashlahah yang selaras dengan tujuan syar’i
(pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang
pengakuannya atau penolakannya.”
f.
Menurut
Abd Wahab al-Khallaf, “mashlahah yang tidak ada dalil syara’ dating
untuk mengakuinya tau menolaknya.”
Dari definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahatan
yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’, serta tidak ada
petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya atau mengakuinya.[21]
Jika terdapat suatu kejadian yang
tidak ada ketentuan syari’at yang menentukan kejelasan hukum atas kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu
ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu
manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan mashlahah mursalah.
Tujuan utama mashlahah mursalah adakah kemashlahatan, yakni
memelihara kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya. [22]
G.
Pro dan Kontra Berhujjah dengan Mashlahah Mursalah
Diatas telah disinggung bahwa mashlahah
itu ada 3 macam, yaitu : mashlahah al-mu’tabarah, mashlahah
al-mulghah, dan mashlahah al-murshalah. Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan mashlahah al-mu’tabarah. Demikian pula terdapat kesepakatan ulama untuk tidak menggunakan mashlahah
al-mulghah. Sedangkan
untuk penggunaan mashlahah mursalah terdapat perbedaan pendapat.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama
mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad
adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah
itu oleh syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung. Digunakannya mashlahah itu bukan karena semata ia adalah mashlahah,
tetapi karena adanya dalil syara’ yang mendukungnya.
Disamping itu ulama dan penulis ushul fiqh pun
berbeda pandangan dalam menukilkan pendapat madzhab. Imam Malik beserta
penganutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlahah mursalah
sebagai metode ijtihad. Sedangkan pandangan ulama Hanafi terhadap mashlahah mursalah
ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya.
Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah
mursalah. Menurut Amir Syarifuddin ulama yang beranggapan bahwa sebagian
ulama Hanafiah mengamalkan mashlahah mursalah ini lebih tepat,
karena kedekatan metode ini dengan istihsan yang populer dikalangan
ulama Hanafiah.[23]
Ulama Syafi’iyah tidak menggunakan mashlahah mursalah
ini dalam berujtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn al-Hajib. Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah
ini berlaku dikalangan ulama Syafi’i. Al-Syatibi dari kalangan Maliki dan Ibnu Qudamah dari ulama Hanbali menukilkan tentang digunakannya metode ini
oleh ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali sendiri sebagai pengikut Syafi’i ada
menukilkan satu versi pendapat yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i yang
menggunakan mashlahah mursalah tersebut. Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i secara tegas dalam kedua kitabnya
(al-Madkul dan al-Mushtasfa) menyatakan bahwa ia menerima penggunaan mashlahah
mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu
bersifat dharuri (menyangkut kebutuhan hidup dalam islam), qath’i (pasti) dan kulli (menyeluruh) secara kumulatif. Ibnu Subkhi dan
al-Razi membenarkan pendapat al-Ghazali seperti itu.
Pendapat shahih yang mewakili pandangan ulama
Hanbali menyatakan bahwa mashlahah mursalah itu tidak memiliki kekuatan
hujjah dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini. Begitu juga kalangan ulama yang menolak penggunaan qiyas seperti
al-Zahiri, ulama’ syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, menolak
penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.
Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa
sikap ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah dalam
berijtihad terbagi dalam dua kelompok. Pertama kelompok yang menolak penggunaan
mashlahah mursalah, yang oleh al-Amidi digolongkan kepada
mayoritas (jumhur) ulama, kedua kelompok yang menerima kemungkinan melakukan
ijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah. Kelompok yang
menggunakan mashlahah mursalah ini tidaklah menggunakannya tanpa
syarat. Yang merupakan syarat umum adalah bahwa mashlahah mursalah
itu hanya digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan.[24]
Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat
berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah,diantaranya:
1. Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum,
dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan
manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.
2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki
betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan
setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan
telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan
dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash al-Qur’an dan
sunnah, maupun ijma’ ulama terdahulu.
4. Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang
seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada
dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat
dari kesulitan.
Dari
persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah mursalah
dalam berijtihad cukup berhati-hati dalam menggunakannya, karena meski
bagaimana juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan dalam
hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.[25]
Untuk menguatkan pendapatnya atas boleh tidaknya menggunakan mashlahah
mursalah, masing-masing kelompok mengemukakan argumentasi, yang
kebanyakan berbentuk argumen rasional.
Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah mursalah,diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz Ibn Jabal yang akan
menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat al-Qur’an dan Sunnah
Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu
pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah. Nabi sendiri pada waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2. Adanya amaliah dan praktek yang begitu meluas dikalangan sahabat nabi
tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang
sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya:
pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi,
pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata uang dimasa Umar Ibn Khattab. Penyatuan cara baca al-Qur’an (qiraat) pada masa Ustman dan lainnya.
3. Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah sejalan
dengan maksud pembuat hukum (syar’i), maka menggunakan mashlahah
tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya. Sebaliknya jika tidak digunakan untuk menetapkan suatu
kemashlahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang
dimaksud oleh syar’i (pembuat hukum). Melalaikan tujuan syar’i adalah suatu perbuatan
yang batal. Karena itu dalam menggunakan mashlahah itu sendiri tidak
keluar dari prinsip-prinsip syara’, bahkan telah sejalan dengan prinsip-prinsip
syara’.
4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan
metode mashlahah mursalah, maka akan menempatkan umat pada kesulitan.
Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hambanya dan menjauhkan
kesulitan dan nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam
kehidupannya.[26]
Kelompok ulama yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad
mengemukakan argumentasi yang diantaranya adalah:
1. Bila suatu mashlahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya atau
yang disebut mu’tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin
disebut dengan suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk
syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya al-Qur’an maupun sunnah nabi.
Padahal al-Qur’an dan sunnah nabi menyatakan bahwa al-Qur’an dan sunnah itu
telah sempurna dan meliputi semua hal.
2. Beramal dengan mashlahah yang tidak dapat pengakuan tersendiri dari
nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak
hati dan menurut hawa nafsu.
3. Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan
mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum.
4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak
mendapat dukungan dari nash, maka akan memberikan kemungkinan untuk berubahnya
hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya
hukum syara’, karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam
keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini tidak
sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi
semua umat islam.
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argumen
masing-masing ulama yang menerima dan yang menolak metode mashlahah mursalah
dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip.
Kelompok yang menerima, ternyata tidak menerimanya secara mutlak
bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula kelompok yang
menolak, ternyata dasar penolakannya adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan
tergelincirnya pada kesalahan jika sampai menetapkan hukum dengan sekehendak
hati dan berdasarkan hawa nafsu.
Selanjutnya terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah
mursalah itu menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk
masalah diluar ibadah seperti muammalat dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam
arti khusus) sama sekali mashlahah tidak dapat dipergunakan secara
keseluruhan. Alasannya karena mashlahah itu didasarkan pada pertimbangan
akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal
itu untuk masalah ibadah.[27]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Istihsan yaitu dalam ijtihad untuk menemukan dan
menetapkan suatu hukum dengan menggunakan dalil lain yang dinilai lebih kuat,
keadaan darurat atau hukum pengecualian dengan alasan lebih baik dan lebih
banyak mendatangkan kemaslahatan. Istihsan ditinjau dari dalil yang
digunakan ada 3, yaitu beralih dari qiyas jali ke qiyas khafi, dari
nash umum ke nash khusus dan dari hukum kulli pada hukum pengecualian.
Ditinjau dari sandarannya, istihsan terbagi menjadi 4 macam, yaitu istihsan
qiyas, istihsan nash, istihsan ‘uruf, dan istihsan dharurat.
Perbedaan pendapat dalam penggunaan istihsan dikarenakan
perbedaan pengertian mereka. Ulama yang menggunakan istihsan adalah
kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Imam Ahmad. Sedangkan yang menolak
adalah Imam Syafi’I, ulama Zhahiriyah, Syi’ah dan ulama Mu’tazilah.
Mashlahah adalah sesuatu
yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan bagi manusia
dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Mashlahah ditinjau
dari kekuatannya ada 3 macam, yaitu mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah dan
mashlahah tahsiniyah. Sedangkan ditinjau dari kesejalanan antara akal
dengan tujuan syara’, ada 3 macam yaitu mashlahah mu’tabarah, mashlahah
mulghah dan mashlahah mursalah. Mashlahah mursalah adalah
suatu kemashlahatan yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’,
serta tidak ada petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya atau mengakuinya
Perbedaan
pendapat mengenai berhujjah dengan mashlahah mursalah karena
tidak adanya petunjuk syara’ yang menerima atau menolaknya. Kalangan yang
menggunakan mashlahah mursalah adalah Malikiyah, Hanafiyah.
Kalangan yang menolaknya adalah ulama Zhahiriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah.
Sedangkan ulama’ Syafi’iyah, ada yang mengatakan mereka menggunakan mashlahah
mursalah, ada juga yang mengatakan mereka tidak menggunakannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’i , Rachmat. 2010. Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta
: PT Logos Wacana Ilmu
Setiania, Lucky. 2012. Istihsan dan Maslahah al-Mursalah. http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/istihsan-dan-maslahah-al-mursalah.html. (diakses pada tanggal 23 Maret 2015 pukul 21.40)
yg footnotenya mana yah?
BalasHapus