Selasa, 21 April 2015

Istihsan dan Mashlahah Mursalah

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam islam ada 4 sumber hukum (Mashadirul Ahkam) yang dapat dijadikan rujukan dalam menentukan hukum, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan Mashadirul Ashliyah (sumber pokok), serta ijma’ dan qiyas yang merupakan Mashadirul Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari terkadang ada beberapa permasalahan yang tidak disebutkan secara jelas dalam sumber-sumber hukum tersebut. Sehingga ada beberapa kelompok yang menggunakan pendekatan lain dalam berijtihad untuk mendapatkan suatu ketentuan hukum. Salah satunya yaitu dengan istihsan dan mashlahah mursalah.
Istihsan dan mashlahah mursalah merupakan pendekatan dalam menentukan suatu hukum bertujuan untuk memperoleh ketentuan hukum yang dianggap lebih kuat dan lebih baik untuk diterapkan serta lebih banyak mendatangkan kemashlahatan bagi umat. Dalam penggunaan istihsan dan mashlahah mursalah dalam metode ijtihad terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menerima penggunaan keduanya dan ada pula yang menolak keduanya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang istihsan dan mashlahah mursalah, mulai dari pengertian, macam-macam dan pro dan kontra penggunaan istihsan dan mashlahah mursalah.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian istihsan?
2.    Apa saja macam-macam istihsan?
3.    Bagaimana pro dan kontra penggunaan istihsan?
4.    Apa pengertian mashlahah?
5.    Apa saja macam-macam mashlahah?
6.    Apa arti mashlahah mursalah?
7.    Bagaimana pro dan kontra penggunaan mashlahah mursalah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Istihsan
Secara etimologis (lughawi/bahasa) istihsan (استحسان)  berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu”. [1]
Adapun pengertian istihsan secara istilah, ada beberapa definisi yang dirumuskan ulama’ ushul fiqh. Diantara definisi itu da yang berbeda akibat danya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantarany ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1.    Menurut Ibnu Subkhi, istihsan yaitu “beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama)”, “beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.”
2.    Menurut ulama’ Malikiyah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syatibi, “istihasan dalam madzhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i (khusus) sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli (global/umum) .”
3.    Menurut ulama’ Hanabilah sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, istihsan adalah “ beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam al-Qur’an atau sunnah”, “apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya”, “dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya.”
4.    Menurut ulama’ Hanafiyah, istihsan adalah “beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita”, “dalil yang menyalahi qiyas yang dzahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleSSh karenanya wajib diamalkan.” [2]
5.    Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz 1 : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh  mujtahid menurut akalnya.” [3]
Setelah menganalisa beberapa definisi istihsan diatas, dapat ditarik kesimpulan istihsan yaitu seorang mujtahid dalam ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak menggunakan dalil, baik dalil qiyas, dalil kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Akan tetapi, menggunakan dalil lain yang dinilai lebih kuat, keadaan darurat atau hukum pengecualian dengan alasan lebih baik dan lebih banyak mendatangkan kemaslahatan.
B.       Macam-macam Istihsan
·      Ditinjau dari segi dalil yan digunakan pada saar beralih dari qiyas
1.    Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada yang dikendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat) .
Contoh dalam kasus mewakafkan tanah yang didalamnya terdapat jalan dan sumber air minum. Jika si mujtahid menggunakan pendekatan qiyas biasa, maka dengan hanya mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut, sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Pendekatan seperti ini disebut qiyas jali atau qiyas dhahir. Namun jika dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan menempuh pendekatan qiyas khafi yaitu menyamakannya dengan transaksi sewa menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu termasuknya jalan dan sumber air dalam tanah yang diwakafkan, meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan ini disebut istihsan qiyas (استحسان القياس).
2.    Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
Contoh dalam penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Berdasarkan dalil umum dalam Q.S al-Maidah : 37, bila seseorang baik laki-laki maupun perempuan melakukan pencurian, maka berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian tersebut dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukuman potong tangan yang bersifat umum itu tidak berlaku bagi pencuri tersebut.
3.    Beralih dari tuntunan hukum kulli kepada tuntunan yang dikehendaki hukum pengecualian.
Contoh  wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah perwalian karena belum dewasa. Berdasarkan ketentuan ketentuan yang bersifat kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan kebajikan dengan hartanya (tabarru’). Berdasarkan pendekatan istihsan ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan tehadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya, ia dapat menyelamatkan hartanya. [4]
·      Ditinjau dari segi sandaran atau menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi 4 macam :
1.    Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi.
2.    Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini si mujtahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Istihsan dalam bentuk ini disebut “Istihsan Nash”.
Contoh dalam masalah jual beli salam (pesanan atau inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang diperjualbelikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah, karena tidak terpenuhinya salah satu syarat jual beli berupa tersedianya barang yang diperjualbelikan pada saat berlangsung transaksi. Namun, cara begini tidak dipakai karena telah ada nash yang mengaturnya, yaitu hadits Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada di tempat kecuali jual beli salam (pesanan).
3.    Istihsan yang sandarannya adalah ‘urf (adat). Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain denga dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku pada suatu keadaan. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-‘urf (استحسان العرف).
Contoh dalam penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang menggunakan pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk, tanpa diperhitungkan banyaknya air yang dipakai dan lama waktu yang digunakan. Kalau dalam kasus ini mengikuti jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual beli untuk kadar uang yang ditentukan harus tertentu pula air yang digunakan. Kalau mengikuti ketentuan sewa menyewa yaitu tertentunya waktu pemakaian barang yang disewa. Dengan demikian, ketentuan sewa menyewa dan jual beli ditinggalkan karena menyandar pada adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak.[5]
4.    Istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-‘urf (استحسان العرف).
Umpamanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk mempertaruhkan hidup atau dharurat, seperti yang telah disebutkan diatas.
·      Menurut Syaitibi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istihlah , ada 3 macam:
1.    Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seseorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa al-Qur’an termasuk dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.
2.    Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.
Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
3.    Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.[6]
C.      Pro dan Kontra Berhujjah dengan Istihsan
Dari beberapa definisi dan macam-macam istihsan diatas terlihat bahwa ada bentuk istihsan yang diterima semua pihak dan untuk selanjutnya mempunyai kekuatan dalam ijtihad yaitu istihsan yang diartikan dengan “mengamalkan yang terkuat diantara dua dalil” sebagaimana dikemukakan al-Syatibi atau dalam arti, “beralih dari qiyas kepada qiyas yang lebih kuat,” menurut rumusan ibn Subki.
Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jali kepada qiyas khafi atau beralih dari dalil kepada adat kebiasaan, merupakan yang kontroversial, yang dengan sendirinya menjadi kurang kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’i termasuk ulama yang paling keras menolak istihsan dalam bentuk ini.
Menurut Syafi’i, istihsan dalam bentuk itu hanyalah berbuat “talazzuz” atau seenaknya. Seandainya boleh meninggalkan qiyas tentu orang yang tidak mempunyai ilmu pun akan dengan mudahnya menggunakan istihsan sewaktu ia tidak menemukan keterangan hukum.
Imam Syafi’I memang menolak dengan keras istihsan dalam bentuk yang kontroversi tersebut, tetapi istihsan yang lainnya tidak ditolaknya, bahkan ia pun menggunakan istihsan seperti dalam masalah bersumpah dengan menggunakan mushhaf (al-Qur’an), membuat akte (keterangan tertulis) pada waktu penebusan bagi kemerdekaan seorang hamba (katabah), dan begitu pula menetapkan kewajiban mut’ah sebanyak 30 dirham.
Kalangan ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah. Karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas. [7]
Argumen ulama yang menolak istihsan (selain argumen Imam Syafi’i) adalah sebagai berikut:
1.    Yang dituntut  dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau Rasul atau hukum yang diqiyaskan kepada hukum Allah dan Rasul.
2.    Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian ditetapkan dengan nash Kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan Nabi. Ada pula isyarat dari nash untuk mengikuti ijma’. Dan dalam hal yang diperdebatkan, disuruh untuk menghubungkannya dengan nash yang ada, yaitu melalui qiyas.
Sedangkan ulama yang menggunakan istihsan adalah dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Imam Ahmad. Kalangan yang lebih banyak menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik daripada qiyas.
Argumen ulama Hanafiyah untuk menyanggah tudingan imam Syafi’I yang mengatakan istihsan itu mengikuti dan bertolak dari kehendak hawa nafsu adalah sebagai berikut:
1.    Istihsan bentuk pertama adalah menggunakan ijtihad dan umumnya pendapat dalam menghadapi kasus yang oleh syara’ sendiri diserahkan kepada kita untuk menentukan hukumnya. Umpamanya masalah menetapkan kadar mut’ah dari suami yang menceraikan istrinya yang belum dicampuri. Menentukan kadar yang harus diberikan si suami adalah termasuk berbuat yang lebih baik.
2.    Istihsan dalam bentuk yang kedua adalah memilih dalil yang menyalahi qiyas jali. Hal ini menimbulkan prasangka sebelum diteliti secara mendalam. Tetapi sesudah diteliti, akan tampak bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu justru lebih kuat. Sedangkan sikap untuk mengambil dalil yang lebih kuat itu hukumnya wajib. [8]
Al-Syatibi dari ulama Malikiyah menegaskan bahwa bentuk pelaksanaan istihan itu merujuk kepada penggunaan dalil mursal sebagai ganti dari merujuk kepada qiyas. Orang yang menggunakan istihsan tidak berbuat atas dorongan selera hawa nafsunya, tetapi merujuk pada tujuan syara’ dalam penetapan hukum secara umum. Umpamanya suatu masalah bias diselesaikan dengan pendekatan qiyas, sehingga menghasilkan suatu ketentuan hukum, namun segi kemashlahatannya luput jika hukum tersebut diterapkan. Agar kemashlahatan itu tidak luput, maka diperlukan pendekatan lain, yaitu dengan istihsan.
Dalil-dalil dan argumen rasional yang dijadikan pegangan oleh kalangan yang menggunakan istihsan adalah sebagai berikut:
1.    Dalil dari ayat-ayat al-Qur’an
a.    Al-Zumar : 18
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr&
Artinya: “Orang-orang yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…….
Ayat ini mengisyaratkan adanya sanjungan dan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
b.   Al-Zumar : 55
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.......
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah. [9]
2.    Dalam bentuk Sunnah
a.    Sabda Nabi :
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”
b.   Praktek penggunaan istihan juga terdapat dalam sunnah. Seperti, diberlakukannya hukum khusus untuk berjual beli salam meskipun barang yang diperjualbelikan belum ada waktu akad berlangsung.
3.    Argumen ijma’ yang dikemukakan pengguna istihsan adalah apa yang disebutkan tentang istihsan yang dilakukan oleh ulama dalam hal menggunakan pemandian umum dan minum air dari penjual minuman, tanpa menentukan lamanya waktu berada di pemandian dan kadar air yang digunakan.
4.    Argumen rasionalnya adalah bahwa dalam menetapkan qiyas dan memberlakukan ketentuan umum adalah bertujuan untuk mendatangakan mashlahah. Bila dalam keadaan tertentu qiyas yang ditetapkan dan ketentuan umum yang diberlakukan itu berakibat pada menghilangkan kemashlahatan, dan dalam waktu yang sama terdapat cara lain yang lebih baik sebagai alternatif pemecahannya, maka meninggalkan qiyas dan ketentuan umum untuk menggunakan cara lain tersebut adalah tidakan yang lebih bijaksana ditinjau dari tujuan pemberlakuan hukum, yaitu untuk mendatangkan kemashlahatan dan meninggalkan kemadharatan.
Dari beberapa pendapat yang berbeda tentang penggunaan istihsan beserta argumen masing-masing, terlihat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam mengartikan apa itu istihsan. Yang menyebabkan perbedaan adalah jika istihsan diartikan dengan “beralih dari menetapkan hukum berdasarkan dalil kepada adat istiadat”. [10]
Mereka yang menggunakan istihsan tidak serta merta membebaskan akal dan logika mereka. Mereka menggunakan pendekatan lain dengan tujuan untuk memperoleh ketentuan yang lebih baik dan lebih kuat. Sedangkan bagi mereka yang menolak istihsan, mereka menolaknya karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Sebenarnya mereka hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.[11]
D.      Pengertian Mashlahah
Secara etimologis mashlahah (مصلحة) berasal dari kata shalaha (صلح) yang berarti “ baik”. Mashdar dari kata shalah (صلاح) yaitu “ manfaat”. Dalam bahasa arab mashlahah berarti “ perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. [12]
Secara terminologis terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam mengartikan mashlahah, akan tetapi jika dianalisa ternyata hakikatnya adalah sama.
a.    Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah berarti “sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan madharat (kerusakan)”. Namun hakikat mashlahah adalah “memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).
b.    Al-Khawarizmi menegmukakan mashlahah adalah “memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
c.    Al-Syatibi mengemukakan mashlahah ditinjau dari segi terjadinya dalam kenyataan adalah “ sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aqlinya secara mutlak”. Sedangkan ditinjau dari tuntutan syara’, mashlaha adalah “kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat”
d.   Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-‘Alim, mashlahah adalah “ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau adat”
Dari beberapa definisi tentang mashlahah diatas dapat disimpulkan bahwa mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, serta sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. [13]
E.       Macam-macam Mashlahah
Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan.
Kekuatan mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan runtutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut. [14]
1.    Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahah ada tiga macam, yaitu: mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan mashlahah tahsiniyah.
a.    Mashlahah dharuriyah (المصلحة الضرورية) adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak  punya arti apa-apa bila salah satu dari lima prinsip itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkatan dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang secara  langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang zina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b.    Mashlahah hajiyah (المصلحة الحاجية) adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Benuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang bisa menyebabkan perusakan.
Contoh mashlahah hajiyah adalah: menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk sempurnanya akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau mashlahah dalam tingkatan haji. Sebaliknya ada perbuatan yang secara tidak langsung akan berdampak pada pengurangan atau perusakan lima kebutuhan pokok, seperti: menghina agama berdampak pada memelihara agama, mogok makan pada memelihara jiwa, minum dan makan yang merangsang pada memelihara akal, melihat aurat dalam memelihara keturunan, dan menipu akan berdampak pada memelihara harta. Semua adalah perbuatan buruk yang dilarang, menjauhi larangan tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat haji.
c.    Mashlahah tahsiniyah (المصلحة التحسنية) adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk tahsini tersebut juga berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia. [15]
Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang kuat adalah mashlahah dharuriyah, kemudian dibawahnya adalah mashlahah hajiyah dan berikutnya mashlahah tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan adalah: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antar sesamanya. Dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji, dan didahulukan haji atas tahsini.
Begitu pula bila terjadi perbenturan antara yang sesama dharuri tersebut, maka tingkat yang lebih tinggi harus didahulukan. Jihad di jalan Allah, disyari’atkan untuk menegakkan agama meskipun dengan mengorbankan jiwa dan harta sebagaimana firman Allah pada surat al-Hujurat : 51
(#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$#
Artinya : “Berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu dalam jalan (menegakkan) agama Allah
Ayat diatas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas jiwa dan harta. Begitu pula syari’at membolehkan meminum khamr bagi orang yang tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara jiwa itu harus didahulukan atas memelihara akal. [16]
2.    Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapakan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, mashlahah itu disebut juga dengan munasib atau keserasian mashlahah dengan tujuan hukum. Mashlahah dalam artian munasib itu dari segi pembuat hukum (syar’i) memperhatikannya atau tidak, mashlahah terbagi kepada tiga macam yaitu:
a.    Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبره) yaitu mashlahah yang diperhitungkan oleh syar’i, maksudnya ada petunjuk dari syar’i, baik langsung maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya mashlahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.

Dari langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap mashlahah tersebut, mashlahah terbagi dua:
1)   Munasib Mu’atstsir (المناسب المؤثر) yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syar’i) yang memperhatikan mashlahah tersebut. Maksudnya ada petunjuk syara’ dalam bentuk nash atau ijma’ yang menetapkan bahwa mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh dalil nash yang menunjuk langsung pada mashlahah, umpanya tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya penyakit itu yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah : 222
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# (
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit, oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid ………
Contoh dalil yang menunjukkan langsung kepada mashlahah dalam bentuk ijma’, umpamanya menetapkan adanya kewalian ayah terhadap harta anak-anak dengan  illatbelum dewasa dengan hukum perwalian adalah mashlahah atau munasib, dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian. [17]
2)   Munasib mula’im (المناسب الملائم), yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya meskipun syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis. Umpamanya:
a)    Berlanjutnya perwalian ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak gadisnya itu “belum dewasa”. “Belum dewasa” ini menjadi alasan bagi hukum yang sejenis dengan itu, yaitu perwalian dengan harta milik anak kecil.
b)   Menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk halangan sholat berjamaah. Tidak ada petunjuk dari syara’ yang menetapkan dingin itu sebagai alasan untuk tidak sholat berjamaah. Namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan yang sejenis dengan dingin itu yaitu “perjalanan” yang dijadikan syara’ sebagai alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan sholat berjamaah tersebut, yaitu jama’ sholat. Dingin itu sejenis dengan “perjalanan” yaitu sama dengan hal menyulitkan, sedangkan meninggalkan sholat berjamaah itu rukhsah (keringanan) hukumnya.
Dari uraian diatas tampak bahwa pada bentuk mashlahah yang dalilnya tidak langsung itu masih ada perhatian syara’ kepada mashlahah tersebut meskipun sangat kecil. [18]
b.    Mashlahah al-Mulghoh (المصلحة الملغاة) atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh mashlahah itu. Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran hukum yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh berpuasa dua bulan berturut-turut, karena cara inilah yang diperkirakan membuatnya jera melakukan pelanggaran, pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syar’i dalam menetapkan hukum, yaitu menjerakan orang dalam melakukan pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini, ternyata tidak demikian menurut syar’i, bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk dapat membutnya jera.
Contoh lain umpamanya, dimasa kini masyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki. Oleh karena itu akal menganggap baik atau mashlahah untuk menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Hal ini pun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Nisa (4):11,dan penegasan Allah tentang hak waris saudara laki-laki dua kali hak saudara perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Nisa (4):176. [19]
c.    Mashlahah al-Murslah (المصلحة المرسلة) atau yang juga biasa disebut Istishlah ( الا ستصلاح ); yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mashlahah mu’tabarah, sebagai mana juga mereka sepakat dalam menolak mashlahah mulghah. Menggunakan metode mashlahah mursalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan dikalangan ulama.
F.       Arti Mashlahah Mursalah
Al-mursalah (المرسلة) secara etimologis berarti “terlepas”, atau dalam arti مطلقة (bebas). Kata terlepas dan bebas bila dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”. [20]
Ada beberapa definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya.
a.    Menurut al-Ghazali mashlahah mursalah adalah “apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
b.    Menurut al-Syaukani mashlahah mursalah adalah “mashlahah yang tidak diketahui apakah syar’i menolaknya atau memperhitungkannya.”
c.    Ibnu Qudamah dari ulama’ Hanbali member rumusan “mashlahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak ada pula yang memperhatikannya.”
d.   Yusuf Hamid al-‘Alim member rumusan “apa-apa (mashlahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.”
e.    Menurut Jalal al-Din Abd Rahman, “mashlahah yang selaras dengan tujuan syar’i (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”
f.     Menurut Abd Wahab al-Khallaf, “mashlahah yang tidak ada dalil syara’ dating untuk mengakuinya tau menolaknya.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahatan yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’, serta tidak ada petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya atau mengakuinya.[21]
Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at yang menentukan kejelasan hukum atas kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan mashlahah mursalah. Tujuan utama mashlahah mursalah adakah kemashlahatan, yakni memelihara kemadaratan dan menjaga kemanfaatannya. [22]
G.      Pro dan Kontra Berhujjah dengan Mashlahah Mursalah
Diatas telah disinggung bahwa mashlahah itu ada 3 macam, yaitu : mashlahah al-mu’tabarah, mashlahah al-mulghah, dan mashlahah al-murshalah. Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan mashlahah al-mu’tabarah. Demikian pula terdapat kesepakatan ulama untuk tidak menggunakan mashlahah al-mulghah. Sedangkan untuk penggunaan mashlahah mursalah terdapat perbedaan pendapat.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah itu oleh syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung. Digunakannya mashlahah itu bukan karena semata ia adalah mashlahah, tetapi karena adanya dalil syara’ yang mendukungnya.
Disamping itu ulama dan penulis ushul fiqh pun berbeda pandangan dalam menukilkan pendapat madzhab. Imam Malik beserta penganutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad. Sedangkan pandangan ulama Hanafi terhadap mashlahah mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah. Menurut Amir Syarifuddin ulama yang beranggapan bahwa sebagian ulama Hanafiah mengamalkan mashlahah mursalah ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan istihsan yang populer dikalangan ulama Hanafiah.[23]
Ulama Syafi’iyah tidak menggunakan mashlahah mursalah ini dalam berujtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn al-Hajib. Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini berlaku dikalangan ulama Syafi’i. Al-Syatibi dari kalangan Maliki dan Ibnu Qudamah dari ulama Hanbali menukilkan tentang digunakannya metode ini oleh ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali sendiri sebagai pengikut Syafi’i ada menukilkan satu versi pendapat yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i yang menggunakan mashlahah mursalah tersebut. Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i secara tegas dalam kedua kitabnya (al-Madkul dan al-Mushtasfa) menyatakan bahwa ia menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat dharuri (menyangkut kebutuhan hidup dalam islam), qath’i (pasti) dan kulli (menyeluruh) secara kumulatif. Ibnu Subkhi dan al-Razi membenarkan pendapat al-Ghazali seperti itu.
Pendapat shahih yang mewakili pandangan ulama Hanbali menyatakan bahwa mashlahah mursalah itu tidak memiliki kekuatan hujjah dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini. Begitu juga kalangan ulama yang menolak penggunaan qiyas seperti al-Zahiri, ulama’ syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.
Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa sikap ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad terbagi dalam dua kelompok. Pertama kelompok yang menolak penggunaan mashlahah mursalah, yang oleh al-Amidi digolongkan kepada mayoritas (jumhur) ulama, kedua kelompok yang menerima kemungkinan melakukan ijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah. Kelompok yang menggunakan mashlahah mursalah ini tidaklah menggunakannya tanpa syarat. Yang merupakan syarat umum adalah bahwa mashlahah mursalah itu hanya digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan.[24]
Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah,diantaranya:
1.    Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.
2.    Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3.    Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash al-Qur’an dan sunnah, maupun ijma’ ulama terdahulu.
4.    Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.
     Dari persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah mursalah dalam berijtihad cukup berhati-hati dalam menggunakannya, karena meski bagaimana juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.[25]
Untuk menguatkan pendapatnya atas boleh tidaknya menggunakan mashlahah mursalah, masing-masing kelompok mengemukakan argumentasi, yang kebanyakan berbentuk argumen rasional.
Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah mursalah,diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz Ibn Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah. Nabi sendiri pada waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2.    Adanya amaliah dan praktek yang begitu meluas dikalangan sahabat nabi tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya: pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi, pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata uang dimasa Umar Ibn Khattab. Penyatuan cara baca al-Qur’an (qiraat) pada masa Ustman dan lainnya.
3.    Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syar’i), maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya. Sebaliknya jika tidak digunakan untuk menetapkan suatu kemashlahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh syar’i (pembuat hukum). Melalaikan tujuan syar’i adalah suatu perbuatan yang batal. Karena itu dalam menggunakan mashlahah itu sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip syara’, bahkan telah sejalan dengan prinsip-prinsip syara’.
4.    Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka akan menempatkan umat pada kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hambanya dan menjauhkan kesulitan dan nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.[26]
Kelompok ulama yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang diantaranya adalah:
1.    Bila suatu mashlahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang disebut mu’tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut dengan suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya al-Qur’an maupun sunnah nabi. Padahal al-Qur’an dan sunnah nabi menyatakan bahwa al-Qur’an dan sunnah itu telah sempurna dan meliputi semua hal.
2.    Beramal dengan mashlahah yang tidak dapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menurut hawa nafsu.
3.    Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum.
4.    Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberikan kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat islam.
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argumen masing-masing ulama yang menerima dan yang menolak metode mashlahah mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima, ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula kelompok yang menolak, ternyata dasar penolakannya adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincirnya pada kesalahan jika sampai menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu.
Selanjutnya terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah mursalah itu menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar ibadah seperti muammalat dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali mashlahah tidak dapat dipergunakan secara keseluruhan. Alasannya karena mashlahah itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.[27]














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istihsan yaitu dalam ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum dengan menggunakan dalil lain yang dinilai lebih kuat, keadaan darurat atau hukum pengecualian dengan alasan lebih baik dan lebih banyak mendatangkan kemaslahatan. Istihsan ditinjau dari dalil yang digunakan ada 3, yaitu beralih dari qiyas jali ke qiyas khafi, dari nash umum ke nash khusus dan dari hukum kulli pada hukum pengecualian. Ditinjau dari sandarannya, istihsan terbagi menjadi 4 macam, yaitu istihsan qiyas, istihsan nash, istihsan ‘uruf, dan istihsan dharurat.
Perbedaan pendapat dalam penggunaan istihsan dikarenakan perbedaan pengertian mereka. Ulama yang menggunakan istihsan adalah kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Imam Ahmad. Sedangkan yang menolak adalah Imam Syafi’I, ulama Zhahiriyah, Syi’ah dan ulama Mu’tazilah.
Mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan bagi manusia dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Mashlahah ditinjau dari kekuatannya ada 3 macam, yaitu mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah dan mashlahah tahsiniyah. Sedangkan ditinjau dari kesejalanan antara akal dengan tujuan syara’, ada 3 macam yaitu mashlahah mu’tabarah, mashlahah mulghah dan mashlahah mursalah. Mashlahah mursalah adalah suatu kemashlahatan yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’, serta tidak ada petunjuk syara’ yang secara khusus menolaknya atau mengakuinya
Perbedaan pendapat mengenai berhujjah dengan mashlahah mursalah karena tidak adanya petunjuk syara’ yang menerima atau menolaknya. Kalangan yang menggunakan mashlahah mursalah adalah Malikiyah, Hanafiyah. Kalangan yang menolaknya adalah ulama Zhahiriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah. Sedangkan ulama’ Syafi’iyah, ada yang mengatakan mereka menggunakan mashlahah mursalah, ada juga yang mengatakan mereka tidak menggunakannya.



DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i , Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
Syarifuddin,  Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
Setiania, Lucky. 2012. Istihsan dan Maslahah al-Mursalah. http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/istihsan-dan-maslahah-al-mursalah.html. (diakses pada tanggal 23 Maret 2015 pukul 21.40)


1 komentar: