Senin, 27 April 2015

Hadits tentang Subyek Pendidikan (Pendidik)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
     Hadis adalah sumber kedua bagi ilmu pendidikan Islam. Sumber pertama, tentu saja al-Qur`an. Sebenarnya, antara al-Qur`an dan Hadis tidak dapat dipisahkan. Munculnya hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SِِAW pada hakikatnya suatu perwujudan dan juga penjelasan dari wahyu al-Qur`an yang beliau terima. Dalam hadits dijelaskan tentang pendidikan, salah satunya mengenai pendidik.
Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama dalam pendidikan. Pendidik adalah pembimbing, pengarah yang biasa disebut dengan guru. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran guru sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar. Oleh karena itu seorang guru atau pendidik memiliki peranan penting dalam meningkatkan minat belajar siswa serta membantu memecahkan kesulitan siswa terutama dalam kegiatan pembelajaran.

Dalam makalah ini kami akan membahas tentang subjek pendidikan yaitu pendidik dalam perspektif hadits.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah sifat dan sikap pendidik dalam perspektif hadits?
2.    Bagaimanakah kedudukan pendidik dalam  perspektif hadits?
3.    Bagaimanakah keutamaan pendidik dalam hadits?

C.      Tujuan
             1.     Memahami sifat dan sikap pendidik dalam perspektif hadits
             2.     Mengetahui kedudukan pendidik dalam perspektif hadits
             3.     Mengetahui keutamaan pendidik dalam perspektif hadits


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sifat dan Sikap Pendidik dalam Perspektif Hadits
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ. رواه البخارى
Artinya “Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.” (HR. Bukhari)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ. رواه الترمذى
Artinya ”Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar.” (HR. Tirmidzi)

Penjelasan:
     Kedua hadits diatas menjelaskan bahwa sebagai manusia termasuk pendidik harus memiliki kasih sayang. Rasulullah Saw memberikan contoh dengan memperlakukan para sahabat dengan penuh santun dan kasih sayang. Jika Rasulullah menyampaikan ajaran islam kepada sahabat dan umatnya dengan bersikap kasar dan tanpa kasih sayang, maka tidak akan ada yang mengikutinya.
     Sifat kasih sayang memiliki peran penting dalam pendidikan. Dengan adanya kasih sayang dapat membangun hubungan dan interaksi yang baik antara pendidik dan peserta didik. Seorang pendidik dalam memberikan pembelajaran dan pendidikan harus dilakukan dengan penuh kasih sayang agar peserta didik dapat menerima apa yang disampaikan dengan hati yang tenang dan nyaman.
عَنْ اَبِي مُوسَى قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمْ اِذَا بَعَثَ اَحَدًا مِنْ اَصْحَابِهِ فِى بَعْضِ اَمْرِهِ قَالَ بَشِّرُ وَلاَ تُنَـفِّرُوا وَيَسِّرُواوَلاَ تُعَسِّرُوا رواه مسلم
Artinya : “Dari Abu Musa beliau berkata, “ Rasulullah SAW apabila mengutus salah satu orang sahabatnya untuk mengerjakan sebagian perintahnya selalu berpesan “ Sampaikan berita gembira oleh kalian dan janganlah kalian menimbulkan rasa antipati, berlaku mudahlah kalian dan janganlah kalian mempersulit.” (HR. Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلم: إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِيْ مُعْنِتاً وَلاَ مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا. رواه مسلم
Artinya : “Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepada ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.” (HR. Muslim)
Penjelasan
     Dari kedua hadits diatas sudah jelas bahwa seorang pendidik harus memiliki prinsip motivasi dan memudahkan serta tidak mempersulit peserta didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Hal ini dilakukan agar dapat meningkatkan semangat belajar peserta didik. Motivasi dapat dilakukan dengan pemberian nilai, pemberian pujian, dan lain-lain.
     Dalam pembelajaran, pendidik hendaknya memberikan kemudahan pada peserta didiknya, salah satunya dalam penyampaian materi. Dalam penyampaian materi pendidik dapat menggunakan media pembelajaran agar anak didiknya dapat memahami apa yang disampaikan dengan mudah.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخارى

Artinya : ”Dari Ibnu Mas'ud, Nabi SAW. selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami.”
Penjelasan
     Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang pendidik hendaknya mengetahui dan mengerti kondisi dan keadaan peserta didiknya. Manusia pada dasarnya memiliki rasa bosan. Untuk menghindari kebosanan pada diri peserta didik, pendidik dapat menyelingi waktu belajar dan memberikan waktu istirahat. Pembagian waktu belajar perlu dilakukan agar apa yag disampaikan pendidik dapat diterima dengan baik oleh peserta didik tanpa ada rasa lelah dan bosan.
B.       Kedudukan Pendidik
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرْهَا وَلاَ يَسْتَطِبْ بِيَمِينِهِ وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ رواه أبو داود

Artinya : “Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya saya menempati posisi orangtuamu. Aku akan mengajarmu. Apabila salah seorang kamu mau buang hajat, maka janganlah ia menghadap atau mebelakangi kiblat, janganlah ia beristinjak (membersihkan dubur sesudah buang air) dengan tangan kanan. Beliau menyuruh beristinjak (kalau tidak dengan air), dengan tiga batu dan melarang beristinjak dengan kotoran (najis) dan tulang.”


Penjelasan
     Seorang pendidik berperan sebagai orang tua bagi peserta didiknya. Dalam hadits diatas, Rasulullah SAW menempatkan dirinya sebagai orangtua dari para sahabatnya. Rasulullah mengajari para sahabat bagaimana cara istinja’, yang harusnya hal tersebut diajarkan oleh orang tua.
     Pendidik adalah orang tua, sedangkan peserta didik adalah anak. Pendidik bertanggung jawab terhadap perkembangan perilaku dan pendidikan anak di sekolah. Jadi, pendidik bukan hanya bertanggung jawab dalam pemberian ilmu dan pemberian nilai, akan tetapi juga bertanggung jawab atas sikap dan perilaku peserta didik. Seorang pendidik diharapkan dapat memberikan kasih sayangnya dengan tulus layaknya kasih sayang orangtua terhadap anaknya
C.      Keutamaan Pendidik
عن أبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ رواه الترمذى
Artinya :“Abu Hurairah meriwayatkan  bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketahuilah ! bahwa sesungguhnya dunia dan segala isinya terkutuk kecuali zikir kepada Allah dan apa yang terlibat dengannya, orang yang tahu (guru) atau orang yang belajar.”
Penjelasan :
     Hadits diatas menjelaskan bahwa pendidik  adalah orang yang terbebas dari kutukan Allah SWT. Namun tidak semua pendidik mendapatkan keistimewaan itu. Pendidik yang dimaksud adalah orang yang memiliki ilmu dan mengamalkan ilmunya serta mengajarkan ilmunya dengan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a.    Sifat dan sikap yang dijelaskan dalam hadits dan dicontohkan oleh Nabi SAW adalah sifat kasih sayang, memudahkan peserta didik, tidak mempersulit dan memahami kondisi dan keadaan peserta didik.
b.    Didalam hadits dijelaskan bahwa pendidik atau guru merupakan orangtua bagi anak didiknya di Sekolah. Sehingga pendidik bertanggung jawab terhadap sikap dan perilaku anak didik.
c.    Keutamaan pendidik yang disebutkan dalam hadits adalah tebebas dari kutukan Allah.




















DAFTAR RUJUKAN
Masri, Zainal. 2012. Bab II Hadits-hadits tentang Pendidik.            http://ainalmasrizai.blogspot.com/2012/09/bab-ii-hadist-hadist-tentang- pendidik.html. (diakses pada tanggal 13 Nopember 2014 pukul 10.21)
Rizqi,Yulia. 2013. Hadits tentang Pendidik. http://yulia-      rizqi.blogspot.com/2013/01/hadits-tentang-pendidik_7601.html. (diakses pada tanggal 11 Nopember 2014 pukul 08.06)

Umar, Bukhari. 2010. Pendidik dalam perspektif hadits: Sifat-sifat Pendidik.             http://bukhariumar59.blogspot.com/2010/12/pendidik-dalam-perspektif-     hadis-sifat.html. (diakses pada tanggal 11 Nopember 2014 pukul 08.08)

Monogami dan Poligami


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
     Al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia mempunyai naluriah dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Untuk memberikan jalan keluar terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis itu, Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui yaitu pernikahan.
     Untuk mengetahui sejauh mana hukum pernikahan dalam Islam, perlu mengetahui bagaimana sikap Islam mengenai  monogami, poligami. Karena saat ini masih banyak yang menganggap hukum Islam itu tidak adil sehubungan dengan sikap Islam yang membolehkan kaum pria menikah dengan wanita lebih dari satu dan jika ditinjau kembali poligami menimbulkan banyak kemudaratan yang ditimbulkan, tidak sedikit pula yang menyebabkan perceraian.
     Oleh karena itu, dalam makalah ini akan sedikit membahas masalah monogami dan poligami menurut Islam.

B.        Rumusan Masalah
             1.          Apa pengertian poligami dan monogami?
             2.          Apa tujuan dari poligami?
             3.          Bagaimana dampak positif dan negatif poligami dan monogami?
             4.          Bagaimana poligami dan monogami dalam perundang-undangan?
             5.          Bagaimana poligami dan monogami dalam hukum islam?





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Poligami dan Monogami
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus  yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84).
Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang isteri maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.
Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang bersamaan dengan syarat dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Batasan ini didasarkan pada QS. al-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapatberlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [1]
B.       Tujuan Poligami
     Setiap pilihan, termasuk poligami memiliki tujuan dan implikasi yang positif  disamping membawa resiko yang negatif. Karena pada fitrahnya seorang manusia memiliki potensi positif dan negatif. Islam mensyariatkan poligami adalah untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk kesenangan suami. Berikut ini adalah tujuan dari poligami:
                    1.            Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan isterinya mandul;
                    2.            Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
                    3.            Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statistic menunjukkan bahwa di beberapa negara Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya prostitusi dan free sex (kumpul kebo), yang berakibat pula anak-anak dari hubungan zina tersebut lahir mencapai jumlah yang cukup tinggi.
                    4.            Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah kaum wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.

C.      Dampak Positif dan Negatif Poligami dan Monogami
     Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawzat menyebutkan empat dampak negatif poligami, di antaranya:
1.      Poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri
2.      Menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.
3.      Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.
4.      Kekacauan dalam bidang ekonomi, bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk poligami, namun tidak mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan.[2]

Dampak Positif berpoligami:
1.    Terhindar dari maksiat dan zina
2.    Meperbanyak keturunan
3.    Melindungi para janda, perawan tua dan kelebihan perempuan
4.    Kebutuhan sex suami terselesaikan saat istrinya melahirkan, haid, sakit, uzur dll
5.    Istri terpacu untuk melakukan yang terbaik bagi suaminya karena ada yang lain
6.    Melatih kesabaran dan menekan egoisme

     Dampak Negatif berpoligami:
1.      Dampak psikologis
     Perasaan menyalahkan diri isteri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.
2.      Dampak sosial
     Masyarakat menganggap buruk pelakunya, sehingga tidak jarang poligami menjadi buah bibir di tengah masyarakat.
3.      Dampak ekonomi
     Diperlukan biaya besar untuk memadu. Untuk membiayai istri-istri dan anak-anak.
4.      Dampak Hukum
     Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5.      Kekerasan Terhadap Perempuan
     Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
6.      Dampak terhadap anak
     Poligami tidak hanya berdampak negatif pada istri, tetapi juga pada anak. Pada anak, dasarnya semua anak beharap memiliki keluarga yang ideal, satu ayah satu ibu. Hadirnya keluarga lain dalam kehidupannya dapat memacu rasa cemburu, marah, sedih, dan kecewa. Perhatian ayah yang terbagi untuk keluarganya yang lain, menyebabkan anak kurang kasih sayang. Sedangkan bagi anak perempuan, tidak menutup kemungkinan poligami yang terjadi meninggalkan rasa trauma terhadap perkawinan dengan pria.

     Sedangkan dari sisi monogami tidak terlalu banyak dampak yang di sebabkan. Karena hampir seluruh pasangan yang melakukan Monogami, tapi jika di singgung dengan hal-hal diatas yang berkaitan monogami bisa juga menyebabkan terjadinya perselingkuhan dan kekerasan dalam ruma tangga.

D.      Poligami dan Monogami Menurut Perundang-Undangan
     Berdasarkan UU No. 1/1974 tentang perkawinan, maka hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, baik untuk pria maupun untuk wanita (vide pasal 3 (1) UU No. 1/1974). Hanya apabila dikendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun diizinkan oleh pihak-pihak bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
     Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1/1974, telah dikeluarkan PP No. 9/1975, yang mengatur ketentuaan-ketentuan pelaksanaan dari UU tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksudf untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan  secara tertulis kepada pengadilan (vide pasal 4 UU No. 1/1974 dan pasal 40 PP No. 9/1975). [3]
Sedangkan masalah poligami dalam kompilasi hukum Islam disebutkan pada pasal 55 :
                              1.            Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
                              2.            Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
                              3.            Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.

Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan :
1.      Suami yang beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2.      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kemudian pada pasal 57 disebutkan Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisitri lebih dari seorang apabila :
1.      Istri tidak dapat menjalankan kewajban sebagai istri.
2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.      Istri tidak dapat menghasilkan keturunan.

Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu :
1.      Adanya persetujuan istri
2.      Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

E.       Poligami dan Monogami dalam Pandangan Islam
     Selama ini poligami menjadi masalah yang sangat kontraversial dalam Islam. Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami adalah bagian dari syarat islam dan karena itu pria boleh memiliki istri hingga empat orang kalau mau. Bahkan tanpa perlu alasan apapun. Di lain pihak, kaum modernis dan pejuang hak-hak asasi wanita berhadapan bahwa poligami diperbolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan ketat berupa keadilan bagi semua istri.
     Menurut kaum modernis, pria tidak bisa begitu saja mengambil lebih dari satu istri hanya karena dia menyukai wanita lain atau jatuh cinta dengan kecantikannya. Mereka juga berpendapat bahwa norma Al-Qur`an sesungguhnya adalah monogami tetapi poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, itu pun, sekali lagi, disertai persyaratan keadilan yang sangat ketat.
     Pejuang hak-hak wanita juga berpendapat bahwa pria tidak diciptakan oleh Allah sebagai hewan seksual semata sehingga dia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya selama istrinya mengalami menstruasi atau nifas. Ribuan pria bisa menahan diri, tidak semua pria berkecendrungan ke arah perkawinan poligami. Kebanyakan pria justru cenderung monogami. Mereka dapat menahan diri dari kegiatan seksual ketika istri sakit lama dan tidak bisa tinggal bersama mereka. Bahkan ketika sang istri sakit tanpa ada harapan sembuh. Mereka dapat melanjutkan kehidupan tanpa kegiatan seksual dan pengorbanan ini layak dilakukan demi hubungan kasih seumur hidup di antara suami istri.[4]
     Asas monogami telah diletakkan oleh islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia.
     Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat dari pada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berumah tangga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.
       Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka terhadap perasaan cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
     Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari human investmentyang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunan yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah monogami dan poligami dalam surat An-Nisa ayat 2-3:
Artinya : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini surat an-Nisa, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangakan menurut Aisyah RA yang di dukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan pada ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi ialah Ar Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-istrinya.

Menurut Rasyid Ridha, pendapat Ar-Razi tersebut lemah, tetapi ia menganggap benar, jika yang dimaksud dengan ayat tiga surat An-Nisa itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jarir, Muhammad Abduh dan Ar-Razi, artinya dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di atas, maka maksud ayat tersebut ialah untuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyah yag tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh islam berdasarka ayat ini.[5]


    














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan monogamy adalah sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.
2.      Tujuan poligami adalah untuk mendapatkan keturunan, menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, menyelamatkan suami yang hypersex, menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak.
3.      Dampak positif poligami adalah tercapainya tujuan yang ingin dicapai dalam berpoligami, sedangkan dampak nagatifnya adalah berdampak pada psikologi, ekonomi, sosial, hukum, dampak terhadap perempuan dan anak.
4.      Dalam perundang-undangan Indonesia, masalah poligami diatur dalam UU No. 1/1974. Seseorang boleh melakukan poligami apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
5.      Menurut hukum islam poligami diperbolehkan dengan syarat hanya dibatasi dengan empat orang istri dan dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.









DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2013. Makalah Monogami dan Poligamihttp://saef-swordofgod.blogspot.com/2013/05/makalah-monogami-dan-poligami.html. (diakses pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 22.15)

Asyahari, M Sofwan. 2011. Monogami dan Poligami Menurut Islam.
http://sofiswa.blogspot.com/2011/12/monogami-dan-poligami-menurut-islam.html. (diakses pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 22.20)

Permadi, T Yusuf.  Makalah Monogami dan Poligamihttp://toniyp.blogspot.com/2014/04/makalah-monogami-dan-poligami.html. (diakses pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 22.23)

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. 1997. Jakarta : Toko Gunung Agung