BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak
zaman dahulu manusia telah memiliki banyak pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan
tersebut merupakan pengalaman pribadi seseoarang atau sekelompok orang.
Pengalaman-pengalaman itu ada yang berasal dari temuan diri sendiri, dan ada
pula hasil temuan orang lain. Baik temuan diri sendiri maupun temuan orang lain
tentu berkaitan dengan bagaimana cara seseorang atau kelompok itu menemukan
pengetahuan itu. Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan
indera manusia tentu mengalami kelemahan, baik kelemahan pada alat
indera maupun pada penarikan kesimpulan. Untuk itulah perlu adanya pemahaman
tentang pengetahuan. Pemahaman tersebut dapat berupa ruang lingkup
pengetahuan, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, dan bagaimana pula untuk
mendapatkan pengetahuan yang berdasarkan metode ilmiah. Pengetahuan yang
didapatkan dengan cara-cara ilmiah tentu akan menghasilkan pengetahuan yang
dapat dipercaya dan bertahan cukup lama.
Sehubungan dengan itu dalam filsafat kita
mengenal bagian-bagiannya, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi
membicarakan objek-objek apa yang menjadi pembicaraan suatu ilmu, epistemologi
membicarakan bagaimana suatu ilmu didapat, sedangkan aksiologi bagaimana
pemanfaatan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pentingnya epistemologi sebagai
suatu ilmu yang membicarakan asal-usul dan cara mendapatkan pengetahuan, maka
perlu dilakukan pengkajian mengenai epistemologi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian dari epistemologi?
2.
Apakah
pengertian dari pengetahuan?
3.
Bagaimana
epistemologi dan jenis pengetahuan?
4.
Bagaimana
objek dan tujuan epistemologi?
5.
Bagaimana
cara memperoleh pengetahuan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari epistemologi
2.
Untuk
mengetahui pengertian dari pengetahuan
3.
Untuk
memahami epistemology dan jenis pengetahuan
4.
Mengetahui
objek dan tujuan epistemologi
5.
Mengetahui
cara memperoleh pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[1]
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti
ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary,
epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or
science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its
limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu
pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya
pengetahuan itu.
Istilah Epistemologi banyak dipakai di
negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-negeri
continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre.
Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-masalah pengetahuan itu
meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya
epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran
saja.
Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan
salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan.
Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal
ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh
pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan
espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu
pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemologi adalah pengetahuan
tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita
sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau
pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata
Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas
Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat
atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan
mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.
(Surajiyo, 2008, hal. 25).
Dari beberapa definisi yang tampak di atas
bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian
dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan
pengetahuan. Jadi, objek material dari epistemologi adalah pengetahuan dan
objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.[2]
B.
Pengertian
Pengetahuan
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan berarti segala sesuatu yg
diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal
(mata pelajaran). Adapun pengetahuan menurut beberapa
ahli adalah:
1.
Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah
reaksi dari manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan
melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil yang terjadi
setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu.
2.
Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan adalah
sebagai ingatan atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini
menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang luas dari hal-hal
yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang diberikan menggunakan ingatan akan
keterangan yang sesuai.
3.
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah
merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap
obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telingan.
Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas
dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui
yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.
Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar,
merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak.
Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia (2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala
sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses belajar.
C.
Epistemologi
dan Jenis Pengetahuan
Menurut Basford, Slevin, (2006) Cabang dari filosofi
yang membahas tentang definisi dan klasifikasi pengetahuan disebut
epistemologi. Secara umum ahli filsafat epistemologi mengklasifikasikan
pengetahuan sebagai berikut:
1. Pengetahuan
tentang
Pengetahuan yang mengidentifikasi
semua hal yang kita ketahui.Secara sederhana, kita mengetahui keberadaannya dan
kita mengetahui sesuatu tentang hal tersebut.
2. Pengetahuan
bagaimana
Pengetahuan tentang bagaimana
melakukan sesuatu. Ini yang kita maksud ketika kita mengatakan bahwa seseorang
memiliki “cara mengetahui sesuatu”. Sebagai contoh, seorang diplomat dapat
berbicara dengan beberapa bahasa yang berbeda, atau seorang perawat dapat
memasang slang nasogastrik, ia mengetahui bagaimana cara melakukan hal
tersebut.
3. Pengetahuan
bahwa
Pengetahuan dalam memahami
sesuatu, tentang apa arti dari sesuatu, sifat dan cara kerjanya, dan bagaimana
hubungannya dengan hal-hal lain. Pengetahuan bahwa dapat dibagi menjadi:
a) Pengetahuan
apriori
Pengetahuan yang diambil dari
dasar aksiomatiknya sendiri.Pengetahuan yang dihasilkan dari proses pemikiran
dan dedukasi tanpa ada stimulus eksternal atau bukti yang berperan pada kesimpulan.
Hal ini dikatakan sebagai suatu yang benar karena adanya suatu alasan atau
bukti-bukti tertentu.
b) Pengetahuan
empiris
Pengetahuan ini diambil dari
persepsi, misal, observasi yang dilakukan di lingkuang. Dari hal-hal yang
diobservasi didapatkan pengetahuan dengan proses induksi. Hal tersebut tidak
mengubah kondisi yang ada, dan secara aktual mengobservasi dan mengetahui bahwa
hal-hal tersebut ada.[3]
D.
Objek dan
Tujuan Epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau
teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek
tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “
segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.”
Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab
sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan
tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa
suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan
epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.” Hal
ini menunjukkan bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu
ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki
makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan
kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh
pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh
pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif,
sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan
pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih
berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentakan dapat
mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya acapkali tidak
mengetahui prosesnya. Contoh, seorang guru dapat mengajarkan kepada siswanya
bahwa empat kali lima sama dengan dua puluh (4 X 5 = 20) dan siswa mengetahui,
bahkan hafal. Namun, bagi siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan
pengetahuan da hafalannya itu. Dia akan mengejar bagaimana prosesnya, empat
kali lima sama dengan dua puluh. Maka guru yang profesional akan menerangkan
proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu
memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lain. Dengan
demikian, seseorang tidak sekedar mengetahui sesuatu atas informasi orang lain,
tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian kontektual melalui proses itu.[4]
E.
Cara
Mendapatkan Pengetahuan
Dari lahir hingga matinya, manusia
tak akan lepas dari proses mengumpulkan pengetahuan. Contoh paling mudah adalah
pengetahuan yang didapat melalui proses sensori indera. Pengetahuan tentang
warna, tentang nada, tentang perbedaan panas dingin semuanya didapat melalui
pengalaman langsung inderawi.
Pengetahuan dapat diperoleh
kebenarannya dari dua pendekatan, yaitu pendekatan non-ilmiah dan ilmiah. Pada
pendekatan non ilmiah ada beberapa pendekatan yakni akal sehat, intuisi,
prasangka, penemuan dan coba-coba dan pikiran kritis.
1.
Akal sehat
Menurut
Conant akal sehat adalah serangkaian konsep dan bagian konseptual yang
memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. Konsep merupakan kata yang
dinyatakan abstrak dan dapat digeneralisasikan kepada hal-hal yang khusus. Akal
sehat ini dapat menunjukan hal yang benar, walaupun disisi lainnya dapat pula
menyesatkan.
2.
Intuisi
Intuisi
adalah penilaian terhadap suatu pengetahuan yang cukup cepat dan berjalan
dengan sendirinya. Biasanya didapat dengan cepat tanpa melalui proses yang
panjang tanpa disadari. Dalam pendekatan ini tidak terdapat hal yang sistemik.
3.
Prasangka
Pengetahuan
yang dicapai secara akal sehat biasanya diikuti dengan kepentingan orang yang
melakukannya kemudian membuat orang mengumumkan hal yang khusus menjadi terlalu
luas. Dan menyebabkan akal sehat ini berubah menjadi sebuah prasangka.
4.
Penemuan coba-coba
Pengetahuan
yang ditemukan dengan pendekatan ini tidak terkontrol dan tidak pasti. Diawali
dengan usaha coba-coba atau dapat dikatakan trial and error. Dilakukan dengan
tidak kesengajaan yang menghasilkan sebuah pengetahuan dan setiap cara
pemecahan masalahnya tidak selalu sama. Sebagai contoh seorang anak yang
mencoba meraba-raba dinding kemudian tidak sengaja menekan saklar lampu dan
lampu itu menyala kemudian anak tersebut terperangah akan hal yang
ditemukannya. Dan anak tersebut pun mengulangi hal yang tadi ia lakukan hingga
ia mendapatkan jawaban yang pasti akan hal tersebut.
5.
Pikiran Kritis
Pikiran kritis ini biasa didapat
dari orang yang sudah mengenyam pendidikan formal yang tinggi sehingga banyak
dipercaya benar oleh orang lain, walaupun tidak semuanya benar karena pendapat
tersebut tidak semuanya melalui percobaan yang pasti, terkadang pendapatnya
hanya didapatkan melalui pikiran yang logis.
Sedangkan pendekatan ilmiah adalah pengetahuan yang
didapatkan melalui percobaan yang terstruktur dan dikontrol oleh data-data
empiris. Percobaan ini dibangun diatas teori-teori terdahulu sehingga ditemukan
pembenaran-pembenaran atau perbaikan-perbaikan atas teori sebelumnya. Dan dapat
diuji kembali oleh siapa saja yang ingin memastikan kebenarannya.
Menurut Notoatmodjo (2005) dari berbagai macam cara
yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah,
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. Cara
tradisional untuk memperoleh pengetahuan
Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk
memperoleh pengetahuan kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode
ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara ini antara
lain:
a) Cara
coba-coba (Trial and Error)
Melalui cara
coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error ”.
Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan
masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan
yang lain.
b) Cara
kekuasaan atau otoritas
Pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas
pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.
c) Berdasarkan
pengalaman pribadi
Dengan cara
mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa yang lalu.
d) Melalui
jalan pikiran
Kemampuan
manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dalam
memperoleh kebenaran pengetahuan manusia menggunakan jalan pikirannya.
2. Cara modern
dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut
“metode penelitian ilmiah”, atau lebih popular disebut metodologi
penelitian (research methodology). Menurut Deobold van Dalen, mengatakan bahwa
dalam memperoleh kesimpulan pengamatan dilakukan dengan mengadakan observasi
langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan
dengan objek yang diamati.[5]
Menurut
Louis O. Kattsoff metode-metode untuk memperoleh pengetahuan ada 5, yaitu
empirisme, rasionalisme, fenomenalisme, intuisionisme, dan metode ilmiah.
1. Empirisime
Seorang penganut
empirisme biasanya berpendirian bahwa kita dapat memeperoleh pengetahuan
melalui pengalaman. Secara demikian dapat dibedakan menjadi macam unsur :’yang
mengetahui’ dan ‘yang diketahui’. Orang yang mengetahui merupakan subjek yang
memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan suatu perkataan yang menunjukkan
seseorang atau suatu kemampuan.
Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera,
kata seorang penganut empirisisme. John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku
catatan yang kosong (tabula rasa), dan didalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan
yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua
pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material.
2. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber
berpengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai
pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai jenis
perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya didalam diri barang sesuatu.
Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang
menunjuk kepada keyataan, maka kebenaran hanya dapat ada didalam pikiran kita
dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3. Fenomenalisme
Ajaran Kant
Paham
ini dikemukakan oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman. Dia berusaha mendamaikan
pertentangan antara empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, pengetahuan hanya
bisa terjadi oleh kerjasama antara pengalaman indra dan akal budi, dan tidak
mungkin yang satu bekerja tanpa yang lain. Indra hanya memberikan data yakni
warna,cita-rasa, bau, dan lain-lain. Untuk memperoleh pengetahuan, kita harus
keluar atau menembus pengalaman, pengetahuan terjadi dengan menghubung-hubungkan,
dan ini dilakukan oleh rasio (akal).
Bagi kant, para penganut empirisisme benar bila
berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman meskipun benar
hanya untuk sebagaian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena
akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
4. Intuisionisme
Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengtahuan
simbolis, yang pada dasarnya bersifat analitis, dan memberikan kepada kita
keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa sesuatu ungkapan, terjemahan atau
penggambaran secara simbolis. Maka menurut Bergon, intuisi ialah suatu sarana
untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggatikan hasil pengenalan
secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Hendaknya diingat, intuisionisme tidak mengingkari
nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya.
Intuisionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa
pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari
pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagaian saja yang diberikan oleh
analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang di berikan oleh indera hanyalah
yang menampakan belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi,
yaitu kenyataan. Mereka mengatakan barang sesuatu tidak pernah merupakan
sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat
menyingkapkan kepada kita keadaannya yang senyatanya.
5. Metode
Ilmiah
Perkembangan ilmu-ilmu alam merupakan hasil penggunaan secara sengaja suatu metode
untuk memperoleh pengetahuan yang menggabungkan pengalaman dan akal sebagai
pendekatan bersama dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai
penyelesaian-penyelesaian yang disarankan.
Hipotesa.
Bila ada suatu masalah dan sudah diajukan suatu penyelesaian yang dimungkinkan,
maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan hipotesa. Jadi, hipotesa ialah
usulan penyelesaian yang berupa saran
dan sebagai konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan memerlukan
verifikasi. Biasanya dimungkinkan adanya sejumlah saran semacam itu.
Jadi,
sifat yang menonjol dari metode ilmiah ialah digunakannya akal dan pengalaman
yang disertai dengan suatu unsur baru, yaitu hipotesa. Bila suatu hipotesa
dikukuhkan kebenarannya oleh contoh-contoh yang banyak jumlahnya maka hipotesa
tersebut kemudian dapat dipandang sebagai hukum.[6]
Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar,
pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantarnya adalah :
1.
Metode induktif
Induksi
merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume
(1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar
jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak
terbatas.
2.
Metode Deduktif
Deduksi
merupakan suatu metode yang menyimpulkan bahwa data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada
dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
3.
Metode Positivisme
Metode
ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian
atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut
Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu
teologis, metofisis, dan positif.
4.
Metode Kontemplatif
Metode
ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi.
Al-Ghazali
menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh
Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa
dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini
bisa dikomersilkan.
5.
Metode Dialektis
Merupakan
metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan
oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika
berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode
penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang
terkandung dalam pandangan.[7]
Menurut
Charles Price ada 4 macam cara untuk memperoleh pengetahuan yaitu:
1.
Percaya
Seseorang akan mendapat pengatahuan karena ia percaya pada hal tersebut adalah benar.
Seseorang akan mendapat pengatahuan karena ia percaya pada hal tersebut adalah benar.
2.
Wibawa
Sesuatu akan dianggap benar apabila seseorang yang berwibawa menyatakan benar.
Sesuatu akan dianggap benar apabila seseorang yang berwibawa menyatakan benar.
3.
Apriori
Merupakan suatu keyakinan/pendirian/anggapan sebelum mengetahui (melihat, mendengar, menyelidiki) keadaan tertentu.
Merupakan suatu keyakinan/pendirian/anggapan sebelum mengetahui (melihat, mendengar, menyelidiki) keadaan tertentu.
4.
Metode
Ilmiah
Sesuatu dianggap ilmiah apa
bila memiliki patokan yang merupakan rambu-rambu untuk menentukan benar atau
salah.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan.
2.
Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang
diketahui yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.
Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar,
merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak.
3.
Secara umum ahli filsafat
epistemologi mengklasifikasikan pengetahuan menjadi tiga, yaitu pengetahuan
tentang, pengetahuan bagaimana dan pengetahuan bahwa.
4.
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.
Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan”. Sedangkan tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu,
yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
5.
Cara-cara mendapatkan pengetahuan ada 2, yaitu
tradisional atau non ilmiah dan modern atau ilmiah.
DAFTAR
RUJUKAN
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat
Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Fathimah, Laila. CARA-CARA
MENDAPATKAN PENGETAHUAN. http://lailafathimah.blogspot.com/2013/07/cara-cara-mendapatkan- pengetahuan.html. (diakses pada tanggal 16 Oktober 2014 pukul 09.53)
Hapsari, Erwinda. 2012. Pengertian
Epistemologi. http://erwindahapsari.blogspot.com/2012/06/pengertian-epistemologi.html. (diakses tanggal 23
Oktober 2014 pukul 17.13)
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya
Nasir, Fatkhun. Epistemologi, http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_4.html. diakses tanggal 23 Oktober 2014 pukul 18.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar